Crypto News – Koreksi harga kripto terbesar di dunia yakni Bitcoin makin membesar pada perdagangan Senin (13/6/2022), karena investor cenderung menghindari aset berisiko dalam menghadapi aksi jual pasar global setelah inflasi di Amerika Serikat (AS) kembali meninggi.
Per pukul 16:40 WIB, Bitcoin ambruk hingga 12,83% ke posisi harga US$ 23.987,21/koin atau setara dengan Rp 377.298.137/koin (asumsi kurs Rp 14.678/US$). Tak hanya Bitcoin saja, Ethereum, koin digital (token) terbesar kedua juga ambruk 17,17% ke harga US$ 1.216,59/koin atau Rp 17.857.108/koin.
Baca Juga : Gawat! Persediaan Bitcoin Makin Tipis, Tinggal Sisa Segini
Bitcoin |
Sebelumnya pada pagi hari ini, Bitcoin sempat menyentuh kisaran US$ 25.000. Tetapi, koreksinya semakin membesar dan kini diperdagangkan di kisaran US$ 23.000. Hal ini menjadi level terendahnya sejak Desember 2020.
Dengan ini, maka harga Bitcoin telah ambruk hingga sekitar 65% dari harga tertinggi sepanjang masanya di kisaran US$ 67.000 yang tercipta pada November 2021.
Pergerakan pasar kripto pada hari ini juga sejalan dengan pasar saham global yang juga berjatuhan setelah dirilisnya inflasi AS pada periode Mei lalu.
“Korelasi antara pasar ekuitas dan Bitcoin terus meningkat, menandakan bahwa keduanya bergerak semakin beriringan,” kata Naeem Aslam, analis di AvaTrade, dikutip dari AP News.
Sebelumnya pada Jumat pekan lalu, inflasi dari sisi konsumen AS yakni consumer price index (CPI) pada Mei 2022 melesat 8,6% secara tahunan (year-on-year/yoy). Inflasi tersebut naik dari bulan sebelumnya 8,3% (yoy) dan menjadi rekor tertinggi sejak 1981.
Kemudian inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan naik 6% (yoy). Secara bulanan (month-to-month/mtm) inflasi naik 1% dan inflasi inti 0,6% (mtm). Harga energi berkontribusi besar terhadap kenaikan inflasi.
Sepanjang Mei harga energi naik 3,9% dari bulan sebelumnya. Sementara dibandingkan Mei 2021, harga energi melonjak hingga lebih dari 34%. Harga minyak mentah yang masih tinggi saat ini, ada kekhawatiran inflasi masih akan terus meninggi.
Padahal sebelumnya, pelaku pasar sudah memprediksi bahwa inflasi Negeri Paman Sam berpotensi melandai pada bulan lalu, di mana mereka melihat inflasi AS pada April lalu sedikit melandai. Tetapi nyatanya, ekspektasi pasar tersebut pun meleset.
Baca Juga : Kripto ‘Berdarah-darah’! Harga Bitcoin Kini Rp 300 Jutaan
Data inflasi terbaru yang kembali meninggi membuat pasar semakin yakin bahwa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga secara agresif.
Mengutip CME FedWatch, peluang kenaikan Federal Funds Rate sebesar 50 basis poin (bp) menjadi 1,25-1,5% adalah 76,8%. Bahkan, kenaikan 75 bp ke 1,5%-1,75% juga masuk perhitungan dengan kemungkinan 23,2%.
Sementara itu dari pasar obligasi pemerintah AS (US Treasury), pada jam perdagangan Indonesia, yakni pukul 16:28 WIB, yield Treasury tenor 10 tahun naik 8,1 basis poin (bp) menjadi 3,238%.
Bahkan untuk yield Treasury berjangka pendek yakni tenor 2 tahun melonjak signifikan yakni sebesar 14,6 bp menjadi 3,195%.
Sumber : cnbcindonesia.com